Medan — Ketegangan antara Iran dan Israel kembali memanas, memasuki babak baru sejak serangan Israel pada 13 Juni lalu. Sebelumnya, bentrokan langsung pertama terjadi pada April 2024, ketika Iran meluncurkan rudal dan drone ke wilayah Israel. Serangan itu menjadi eskalasi paling signifikan dalam sejarah hubungan kedua negara, memicu kekhawatiran akan pecahnya konflik berskala luas di kawasan Timur Tengah.
Seiring meningkatnya ketegangan, sejumlah tokoh agama di Sumatera Utara mengimbau masyarakat agar tidak terprovokasi isu agama dalam menyikapi konflik tersebut.
“Konflik ini tidak dilandasi oleh sentimen agama, melainkan lebih kepada kepentingan politik dan kekuatan militer,” kata pengamat Sosiologi Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU), Prof. Dr. Ansari Yamamah, Jumat (1/8/2025).
Hal senada disampaikan Ketua Gema Masjid Sumatera Utara, Ustaz Masdar Tambusai, S.Ag. Ia menilai konflik tersebut murni antarnegara, bukan konflik keagamaan, meski dampaknya sangat luas.
“Ketegangan ini mengancam stabilitas kawasan dan bisa mengubah konfigurasi kekuatan global. Tapi ini bukan perang agama, melainkan konflik geopolitik,” ujarnya.
Ketua DPW Persatuan Islam Sumatera Nasional (PISN) Sumut, Amrin Nasution alias Ucok, menegaskan pentingnya masyarakat tetap bijak dalam menerima informasi dan tidak mudah terprovokasi.
“Jika kita terjebak pada narasi konflik agama, itu justru dapat memecah belah bangsa. Padahal, akar konflik Iran–Israel adalah rivalitas politik dan sejarah panjang kekuasaan,” katanya.
Sementara itu, dampak dari konflik tersebut telah menyebabkan kerusakan infrastruktur, serta jatuhnya korban jiwa dan pengungsian massal, baik dari warga kedua negara maupun warga sipil lain yang berada di zona konflik.
Ketiga tokoh tersebut sepakat bahwa masyarakat Indonesia, khususnya di Sumatera Utara, harus menjaga persatuan dan tidak terseret dalam isu-isu yang memecah belah, terutama narasi agama yang tidak berdasar dalam konflik ini.**
Tim