- ( Photo : Ilustrasi Sepak bola)
Redaksi Menulis :
Besok, Rabu (6/8-2025) final Soeratin Cup U-17 akan digelar di Kupang NTT . Ajang ini adalah salah satu puncak kompetisi usia muda paling bergengsi di Tanah Air. Publik akan bersorak, pemain akan tampil habis-habisan, dan kebanggaan daerah dipertaruhkan.
Namun, di balik gemuruh final, ada pesan penting yang patut kita renungkan bersama: prestasi bukan hasil dari jalan pintas, apalagi sekadar “rekrut-menang-lupakan”. Prestasi sejati lahir dari proses pembinaan yang berjenjang, bertahap, dan berkelanjutan.
Bukan Sekadar Kompetisi, Ini Tahapan Pembinaan
Dalam dunia kepelatihan modern, pembinaan pemain usia muda mengikuti tahapan yang dikenal dengan Long-Term Athlete Development (LTAD). Setiap tahap punya tujuan dan metode yang berbeda, tergantung usia dan kesiapan pemain.
Mulai dari usia 6–9 tahun, anak dikenalkan pada gerak dasar dan kesenangan bermain (Fundamental). Di usia 9–12 tahun, mereka mulai belajar teknik dasar tanpa tekanan hasil (Learning to Train). Memasuki usia 12–15 tahun, pemain diperkenalkan pada latihan terprogram dan fisik dasar (Training to Train). Baru pada usia 15–17 tahun—seperti yang tampil di Soeratin U-17—mereka benar-benar dilatih untuk berkompetisi, bukan semata-mata “dikejar juara”.
Dan bahkan setelah itu, masih ada tahap lebih tinggi: Training to Win, di mana pemain masuk ke dunia profesional—Liga 1, Elite Pro Academy, hingga Tim Nasional.
Soeratin U-17: Ujian, Bukan Tujuan Akhir
Sayangnya, tidak semua pihak memahami hal ini. Sebagian masih berpikir instan, menjadikan Soeratin Cup sebagai ajang pamer kekuatan tanpa proses. Pemain-pemain dari luar daerah atau luar akademi direkrut mendadak, dipoles sebentar, lalu diturunkan di kompetisi.
Padahal, ini bukan pembinaan. Ini sekadar “mengambil hasil” dari pembinaan orang lain.
Jika sebuah tim tidak membina sejak usia dini, tidak melakukan seleksi internal, tidak menjalankan latihan teknik, taktik, dan mental secara konsisten, maka tidak etis mengklaim keberhasilan di U-17 sebagai “hasil binaan sendiri.” Itu hanya mengejar gengsi, bukan membangun masa depan.
Belajar dari yang Konsisten Membangun
Beberapa klub layak diapresiasi karena tetap memegang teguh prinsip pembinaan. Sebut saja PS Malaka, Bintang Timur Atambua, atau BMP Flotim, Persebata Lembata. Mereka tidak menunggu turnamen datang untuk membentuk tim, tetapi menanam, menyiram, dan merawat sejak dini.
Pemain-pemainnya dibentuk dari bawah—dilatih secara fisik dan teknis, dibiasakan disiplin, dibekali semangat sportivitas. Ketika mereka tampil di Soeratin U-17, itu bukan hasil instan. Itu buah dari proses panjang, yang bisa dipertanggungjawabkan.
Mari Jujur dan Bertanggung Jawab
Sepak bola Indonesia tidak akan maju jika ekosistem pembinaannya dibiarkan penuh dengan tipu-tipu. Kemenangan yang diperoleh tanpa proses sejati hanya akan menciptakan ilusi prestasi. Padahal, yang dibutuhkan adalah pemain-pemain yang siap secara fisik, teknik, mental, dan etika — dari lapangan kampung hingga stadion nasional.
Final U-17 besok adalah panggung pembuktian. Namun yang lebih penting dari siapa yang juara adalah siapa yang benar-benar membina, dan siapa yang hanya menumpang nama. Mari kita jujur dan bertanggung jawab.
Karena dalam sepak bola, seperti dalam hidup, kebanggaan sejati hanya datang dari proses, bukan dari hasil instan. (**)