banner 728x250

Perjuangan Taufik Umar di MK: Judicial Review Kolom Agama di KTP untuk Jaga Keutuhan Bangsa

banner 120x600
banner 468x60

Jakarta, 9 September 2025

Kenangan kelam kerusuhan Poso awal 2000 masih membekas dalam ingatan Taufik Umar. Pengalaman traumatis tersebut mendorongnya untuk memperjuangkan perubahan fundamental dalam sistem administrasi kependudukan Indonesia. Pada 27 Agustus 2025, Taufik resmi mengajukan permohonan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait kewajiban pencantuman kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK).

banner 325x300

Sidang pendahuluan permohonan yang terdaftar dengan nomor 155/PUU/23/2025 ini telah digelar secara daring pada 3 September 2025. Taufik menilai, Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang mewajibkan pencantuman kolom agama berpotensi melanggar hak-hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh UUD 1945, termasuk Pasal 28A, 28D, 28E, 28G, 28H, dan Pasal 28I.

“Motivasi saya sangat sederhana: agar tragedi intoleransi dan konflik agama seperti yang pernah terjadi di Poso tidak terulang lagi di Indonesia. Negara ini pluralis dan harus menjaga kerukunan antarumat beragama. Jangan sampai kolom agama di KTP menjadi pemicu diskriminasi, persekusi, dan bahkan mengancam nyawa orang banyak,” ujar Taufik tegas.

Taufik menyaksikan sendiri bagaimana kolom agama pada KTP digunakan sebagai alat diskriminasi dan pemicu konflik. “Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika, namun indikasi intoleransi semakin nyata. NKRI memang harga mati, tapi kerukunan juga harus dipertahankan. Saya berharap Majelis Hakim MK RI melihat ini bukan hanya sebagai persoalan teknis administrasi, tetapi sebagai masalah kemanusiaan dan keadilan,” tambahnya.

Kuasa hukum Taufik, Santiamer Silalahi, menegaskan bahwa permohonan ini memiliki alasan hukum yang berbeda dengan perkara serupa yang pernah diputuskan MK sebelumnya. “Karena alasan dan konteksnya berbeda, permohonan ini layak dikabulkan. Pencantuman kolom agama selama ini tidak menyelesaikan masalah, malah menimbulkan gesekan sosial yang berbahaya,” kata Santiamer.

Santiamer juga menyoroti dampak nyata dari pencantuman kolom agama dalam KTP. “Dengan melihat KTP, seseorang bisa dikenali agamanya, yang sering dimanfaatkan sebagai celah untuk tindakan intoleransi, persekusi, bahkan pengusiran dari suatu wilayah,” ujarnya.

Permohonan ini kini menunggu sidang lanjutan di Mahkamah Konstitusi. Harapan Taufik dan timnya sederhana namun mulia: agar permohonan judicial review dikabulkan demi menjamin keadilan, kebebasan beragama, dan menjaga keutuhan bangsa Indonesia.

 

Editor : Polman Manalu


 

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *