banner 728x250

Ketika Sopir Mengundurkan Diri, Lalu Menggugat: Sebuah Drama Hukum yang Menguji Integritas Penegakan Ketenagakerjaan

banner 120x600
banner 468x60

Laporan Khusus | Medan

Ketika Suriadi memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai sopir di PT Sarana Sukses Bogatama, tak ada yang menyangka bahwa keputusan itu akan memantik konflik hukum bernilai belasan juta rupiah. Surat pengunduran dirinya sudah diterima secara resmi. Tapi di balik kepergiannya, sebuah gugatan mengintai—mengubah hubungan kerja yang selesai menjadi kasus ketenagakerjaan yang membakar emosi.

banner 325x300

Tak lama setelah hengkang, Suriadi melaporkan perusahaan ke UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan Wilayah I dengan tuduhan kelebihan jam kerja. Tak hanya itu, laporan tersebut berujung pada terbitnya Surat Penetapan Denda dari dinas sebesar Rp12.263.606—yang kini menjadi sumber perdebatan.

“Kami Terkejut”: Perusahaan Merasa Dijebak

Kuasa hukum PT Sarana Sukses Bogatama, Henry R.A. Pakpahan, tak menutupi kekecewaannya.

“Bagaimana mungkin seseorang yang sudah tidak memiliki hubungan kerja lagi bisa langsung dilayani laporannya, lalu perusahaan dijatuhi denda tanpa proses mediasi atau klarifikasi yang layak?” tanyanya retoris.

Pihaknya menilai keputusan Dinas Ketenagakerjaan terburu-buru, bahkan mencederai asas keadilan. Mereka menilai ada kejanggalan prosedural yang patut dikritisi. “Kami khawatir ini bisa menjadi modus baru—mengundurkan diri lalu menggugat untuk mendapatkan kompensasi tanpa dasar yang sah,” tambahnya.

Tak tinggal diam, perusahaan pun mengajukan banding resmi ke Kementerian Ketenagakerjaan pada 25 Juni 2025, dengan permintaan penghitungan ulang berdasarkan Permenaker No. 1 Tahun 2020.

Namun yang mengejutkan, banding belum dijawab, UPTD justru menerbitkan Nota Pemeriksaan Kedua pada 15 Juli 2025, yang memerintahkan perusahaan segera menjalankan isi Nota Pemeriksaan Pertama.

“Ini seperti dua nada dalam satu orkestra: satu minta evaluasi, yang lain langsung ketuk palu,” ujar Henry, menggambarkan situasi yang mereka hadapi.

Masalah Lebih Luas: Profesionalisme dan Integritas Aparat Pengawas

Kasus ini membuka tabir persoalan yang lebih luas: integritas dan profesionalisme aparat pengawas ketenagakerjaan di lapangan. Dalam logika hukum yang sehat, seharusnya proses banding dihormati dan diberi ruang untuk diuji. Tapi yang terjadi, keputusan sepihak terlanjur dieksekusi sebelum proses koreksi rampung.

“Kalau dibiarkan, ini bisa merusak kepercayaan dunia usaha terhadap sistem pengawasan ketenagakerjaan. Bukan hanya soal nilai dendanya, tapi soal kepastian hukum,” kata Henry.

Lebih lanjut, perusahaan meminta Kementerian Ketenagakerjaan mengevaluasi kinerja UPTD Wilayah I. Sebab, menurut mereka, fungsi pengawasan seharusnya tidak menjadi alat tekanan, melainkan jembatan mediasi antara pekerja dan pemberi kerja.

Paradoks Keadilan dalam Hubungan Industrial

Di satu sisi, negara wajib melindungi hak-hak pekerja, termasuk hak atas jam kerja yang wajar. Namun di sisi lain, perusahaan pun berhak atas perlindungan hukum ketika merasa dirugikan oleh tindakan tidak proporsional. Keseimbangan inilah yang diuji dalam kasus seperti ini.

“Bayangkan jika semua eks-karyawan mengundurkan diri lalu menggugat soal jam kerja tanpa verifikasi ketat, dunia kerja akan kacau,” ucap salah satu praktisi hukum ketenagakerjaan yang tak ingin disebutkan namanya.

Menuju Kepastian Hukum yang Berkeadilan

Kini bola panas berada di tangan Kementerian Ketenagakerjaan RI. Apakah akan menerima banding dan membuka ulang penghitungan? Atau tetap membiarkan putusan UPTD berjalan tanpa koreksi?

PT Sarana Sukses Bogatama berharap kasus ini menjadi momentum evaluasi serius. “Kami bukan anti perlindungan tenaga kerja. Tapi jangan sampai hukum dijadikan alat untuk menjebak perusahaan secara sepihak. Itu tidak adil,” tegas Henry.

Sementara itu, kasus ini masih terus bergulir. Tak hanya menyita perhatian internal perusahaan, tapi juga mengundang keprihatinan kalangan pengusaha lainnya. Sebuah pengunduran diri yang seharusnya mengakhiri hubungan profesional, kini justru membuka babak baru: pertarungan kepercayaan, prosedur, dan keadilan dalam dunia ketenagakerjaan Indonesia.

(Tim Laporan Khusus | Medan)

 

 

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *