banner 728x250

Jika Wakil Tak Lagi Mewakili Oleh: Randa Fikri Anugrah Mahasiswa Pemikiran Politik Islam, UIN Mahmud Yunus Batusangkar

banner 120x600
banner 468x60

OPINI :

Gelombang demonstrasi 25 Agustus 2025 di depan Gedung DPR/MPR RI bukan sekadar ledakan emosional. Ia adalah akumulasi kekecewaan publik yang lama terpendam. Dari penolakan kenaikan gaji anggota DPR hingga tuntutan ekstrem pembubaran lembaga legislatif, massa turun ke jalan membawa pesan yang jelas: rakyat merasa tak lagi diwakili oleh institusi yang seharusnya menjadi rumah aspirasi mereka.

banner 325x300

Representasi yang Retak

Secara teori politik, parlemen adalah perpanjangan tangan rakyat. Namun realitas hari ini justru menunjukkan paradoks. Ketika masyarakat bergulat dengan harga kebutuhan pokok yang kian mencekik, isu yang mencuat di Senayan justru soal kenaikan tunjangan dan fasilitas anggota dewan. Jurang ini memperdalam rasa ketidakadilan dan meruntuhkan legitimasi moral lembaga legislatif.

Aksi Damai yang Berubah Ricuh

Awalnya, demonstrasi berlangsung damai. Ribuan masyarakat—mulai dari mahasiswa, pelajar, hingga pekerja informal—ikut menyuarakan keresahan. Namun ketegangan di lapangan mudah terpicu. Lemparan botol dibalas gas air mata, jalan ditutup, transportasi publik lumpuh, dan fasilitas umum rusak. Aparat berdalih kericuhan tak terhindarkan, tetapi publik melihatnya sebagai cermin dari minimnya ruang dialog antara rakyat dan negara.

Pendidikan Politik yang Absen

Kerap ricuhnya aksi massa tidak bisa dilepaskan dari lemahnya pendidikan politik. Demokrasi kita masih terjebak dalam ritual lima tahunan, sementara ruang pembelajaran politik sehari-hari hampir tak ada. Akibatnya, jalanan menjadi “kelas politik” rakyat. Ketika saluran aspirasi formal macet, aksi massa dianggap jalan logis—meski berisiko dan sering dipersepsikan sebagai ancaman stabilitas.

Kebebasan vs. Ketertiban

Polisi kerap menegaskan tindakan represif dilakukan demi menjaga ketertiban. Namun pertanyaannya: apakah ketertiban harus selalu ditegakkan dengan mengorbankan kebebasan berpendapat? Penangkapan ratusan demonstran menimbulkan kesan kriminalisasi, padahal demonstrasi adalah hak konstitusional warga negara. Demokrasi menuntut negara mampu menemukan titik tengah: mengamankan aksi tanpa mencekik kebebasan sipil.

Jalan Pulang bagi Demokrasi

Pelajaran dari 25 Agustus jelas: demokrasi tidak akan sehat tanpa representasi yang tulus dan ruang dialog yang nyata. DPR harus berani meninjau ulang perilaku politiknya sendiri, bukan sekadar menunggu legitimasi lima tahunan dari pemilu. Di sisi lain, masyarakat perlu membangun literasi politik agar perlawanan tidak berhenti di jalanan, melainkan menjadi kekuatan sadar yang menekan perubahan kebijakan secara sistematis.

Penutup

Peristiwa 25 Agustus bukanlah akhir, melainkan alarm keras bagi demokrasi Indonesia. Jika DPR terus hidup di menara gading, jauh dari denyut rakyat, jalanan akan tetap menjadi panggung utama politik rakyat. Demokrasi hanya bisa bertahan jika wakil rakyat kembali ke akarnya: memahami, mendengar, dan memperjuangkan rakyat.**

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *