banner 728x250

Dr. Nando Seran: Konstitusi Adalah Hukum Tertinggi, Bukan Putusan MK

banner 120x600
banner 468x60

( Photo : Dr. Yohanes Bernando Seran,SH, M.Hum – Ahli Hukum Tata Negara Sekaligus Alumni Pascasarjana UGM Yogyakarta.) 

Kupang – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah terus menuai polemik di kalangan akademisi dan praktisi hukum. Salah satu tanggapan kritis datang dari Dr. Yohanes Bernando Seran, S.H., M.Hum., ahli hukum tata negara sekaligus alumni Pascasarjana UGM Yogyakarta.

banner 325x300

Dalam catatan opini akademisnya, Dr Nando menilai putusan MK tersebut bukan hanya bermasalah secara yuridis, tetapi juga secara konstitusional. Ia menegaskan bahwa konstitusi adalah hukum tertinggi di Republik Indonesia, bukan putusan Mahkamah Konstitusi.

Putusan MK Membuat Norma Baru: Salah Kaprah Konstitusional

Menurutnya, tugas utama MK sebagaimana diatur dalam UUD 1945 hanyalah mengadili konstitusionalitas Undang-Undang bukan menciptakan norma baru.

“Jika ada pasal dalam UU yang bertentangan dengan UUD, MK bisa membatalkannya. Tetapi ketika MK menambah atau mengurangi norma, maka itu sudah melampaui kewenangan,” ujar Dr Nando dalam analisanya.

Ia menyebut, putusan yang membagi Pemilu menjadi dua rezim, Pemilu Pusat (Presiden, DPR, DPD) dan Pemilu Daerah (Gubernur, Bupati/Wali Kota, DPRD) — merupakan bentuk intervensi terhadap konstitusi yang seharusnya tidak bisa diubah oleh lembaga yudikatif.

Kritik Konstitusional: Final dan Mengikat, Tapi Tidak Mutlak

Dr Nando juga mengkritik tafsir final and binding yang selama ini disematkan pada setiap putusan MK. Menurutnya, putusan MK bukan berarti tak bisa dikritik atau dikoreksi, terutama ketika menyimpang dari fungsi dasarnya.

“Putusan MK bukan kitab suci. Ketika ia bertentangan dengan konstitusi, maka asas lex superior derogat legi inferiori tetap berlaku. Konstitusi tetap lebih tinggi daripada putusan MK,” tegasnya.

Dalam teori hukum Hans Kelsen maupun pemikiran klasik seperti C.F. Strong dan Dicey, hukum dasar (konstitusi) adalah sumber segala norma. Jika lembaga yang ditugaskan menjaga konstitusi justru mencederainya, maka perlu mekanisme koreksi.

Usulan Reformasi Kewenangan dan Akuntabilitas MK

Dalam catatan hukumnya, Dr Nando mengusulkan penguatan sistem evaluasi terhadap putusan MK, termasuk kemungkinan adanya mekanisme koreksi oleh lembaga independen.

“Tidak boleh ada lembaga yang absolut. Bahkan lembaga independen seperti MK harus bisa diawasi, dikritisi, dan dimintai pertanggungjawaban oleh publik dan lembaga lain,” tambahnya.

Ia mengingatkan agar kekuasaan kehakiman, sekalipun berada di atas kekuasaan eksekutif dan legislatif, tetap berada dalam koridor akuntabilitas demokratis dan prinsip checks and balances.

Seruan Moral-Konstitusional untuk 9 Hakim MK

Opini Dr Nando menutup dengan seruan moral kepada sembilan hakim konstitusi untuk merefleksikan kembali arah dan dampak putusan mereka terhadap sistem ketatanegaraan dan kehidupan demokrasi Indonesia.

Ia menyarankan agar masyarakat hukum dan perguruan tinggi memberikan anotasi kritis terhadap putusan-putusan MK, khususnya yang berpotensi mengubah struktur politik negara tanpa mandat konstitusional yang sah.

Penutup: Konstitusi Adalah Kompas, Bukan Putusan

Dalam konteks demokrasi modern, Yohanes Bernando Seran mengingatkan bahwa konstitusi bukan sekadar dokumen hukum, tetapi kompas moral dan ideologis bagi bangsa.

“Ketika Mahkamah Konstitusi mengambil langkah di luar koridor tugasnya, maka publik tidak hanya berhak, tetapi wajib untuk bersuara,” pungkasnya.

Opini oleh: Dr. Yohanes Bernando Seran, S.H., M.Hum.

Editor: boni atolan

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *