Opini :
Banjir yang melanda sejumlah wilayah di Bali, termasuk Desa Pengambengan di Kabupaten Jembrana, bukan sekadar peristiwa musiman akibat cuaca ekstrem. Fenomena ini harus dilihat sebagai gejala nyata dari krisis ekologis yang semakin memburuk akibat alih fungsi lahan, tata ruang yang lemah, dan minimnya infrastruktur penanggulangan bencana.
Pada Rabu (10/9/2025), banjir melumpuhkan aktivitas warga dan menyebabkan berbagai gangguan kesehatan. Air yang menggenang selama berhari-hari tidak hanya merusak hunian dan harta benda, tetapi juga memicu penyakit kulit, infeksi saluran pernapasan, hingga diare di kalangan warga terdampak. Situasi ini menjadi potret buram bagaimana bencana hidrometeorologi tidak hanya berdampak fisik, tetapi juga sosial dan kesehatan masyarakat.
Dampak Banjir yang Meluas
Dampak banjir di Bali tidak dapat dipandang ringan. Selain kerugian materiil, banjir berkontribusi pada meningkatnya kerentanan sosial. Aktivitas ekonomi warga terganggu, akses pendidikan anak-anak terhambat, dan fasilitas publik rusak. Dalam jangka panjang, banjir berulang dapat memicu perpindahan penduduk secara paksa (displacement), memperparah kemiskinan, dan menggerus kualitas hidup masyarakat.
Lebih dari itu, krisis ini juga berdampak buruk pada sektor pariwisata—jantung perekonomian Bali. Citra Bali sebagai destinasi wisata dunia yang hijau dan bersih terancam oleh buruknya pengelolaan lingkungan dan mitigasi bencana yang tidak terintegrasi.
Akar Masalah: Alih Fungsi Lahan dan Tata Ruang yang Lemah
Salah satu penyebab utama banjir yang makin sering terjadi di Bali adalah maraknya alih fungsi lahan, terutama di kawasan pesisir dan daerah tangkapan air. Banyak lahan pertanian dan kawasan resapan yang beralih menjadi perumahan, vila, atau infrastruktur pariwisata, tanpa memperhatikan keseimbangan ekologis.
Di sisi lain, lemahnya penegakan regulasi tata ruang membuat pembangunan yang tidak ramah lingkungan terus berlangsung. Pemerintah daerah sering kali berada dalam posisi dilematis antara mengejar investasi dan melindungi lingkungan, yang sayangnya lebih sering berpihak pada yang pertama.
Solusi: Restorasi Ekologis dan Reformasi Tata Kelola
Mengatasi banjir di Bali membutuhkan pendekatan sistemik dan berkelanjutan. Setidaknya terdapat tiga langkah strategis yang harus segera dilakukan:
1. Penegakan Tata Ruang dan Moratorium Alih Fungsi Lahan
Pemerintah daerah harus secara tegas menegakkan peraturan tata ruang yang ada, termasuk menetapkan moratorium sementara terhadap konversi lahan produktif dan kawasan resapan. Revisi RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) harus melibatkan partisipasi publik dan mempertimbangkan daya dukung lingkungan.
2. Investasi pada Infrastruktur Hijau dan Mitigasi Bencana
Pembangunan sistem drainase yang memadai, penguatan daerah tangkapan air, dan penggunaan teknologi ramah lingkungan dalam manajemen air harus menjadi prioritas. Selain itu, investasi pada early warning system dan edukasi masyarakat tentang kesiapsiagaan bencana sangat krusial.
3. Restorasi Ekosistem dan Rehabilitasi Kawasan Kritis
Reboisasi, konservasi mangrove, dan rehabilitasi lahan kritis harus digencarkan. Pemerintah bisa menggandeng komunitas lokal, akademisi, dan sektor swasta untuk menjadikan upaya restorasi sebagai gerakan kolektif, bukan sekadar program pemerintah.
Penutup: Saatnya Menghitung Biaya Ekologis, Bukan Sekadar Ekonomis
Banjir di Bali adalah pengingat bahwa pembangunan yang mengabaikan keberlanjutan akan membawa bencana. Pemerintah daerah bersama masyarakat harus mulai menghitung biaya ekologis dari setiap keputusan pembangunan. Bali yang lestari dan tangguh hanya bisa terwujud jika harmoni antara manusia dan alam dikembalikan sebagai fondasi utama perencanaan wilayah.
** Tentang Penulis: Nestor Bria, Kepala Perwakilan Radar Perbatasan Bali, wartawan, pemerhati isu lingkungan dan tata ruang.