Medan, 17 September 2025 —
Seorang perwira menengah di jajaran Polres Batubara, Sumatera Utara, tengah menjadi sorotan publik setelah muncul dugaan keterlibatannya dalam kasus pelecehan seksual terhadap seorang pegawai harian lepas (PHL). AKP Ramses Panjaitan, yang menjabat sebagai Kepala Satuan Narkoba Polres Batubara, dilaporkan diduga melakukan tindakan tidak senonoh terhadap PHL berinisial A alias P (23), yang bertugas di lingkungan Satres Narkoba.
Informasi yang dihimpun dari berbagai sumber menyebutkan, peristiwa tersebut terjadi sekitar tiga pekan lalu di ruang kerja Kasat Narkoba. Saat itu, korban yang baru bekerja selama satu setengah tahun sebagai PHL di Satres Narkoba diminta oleh AKP Ramses untuk memotong kukunya. Permintaan tersebut dilakukan secara langsung di dalam ruang kerja Kasat yang tertutup dan hanya dihadiri oleh mereka berdua.
Menurut keterangan sumber, saat korban tengah memotong kuku, AKP Ramses diduga mulai melakukan tindakan tidak pantas dengan meraba bagian tubuh korban secara tidak senonoh. Merasa dilecehkan dan ketakutan, korban langsung meninggalkan ruangan dan tidak kembali bekerja sejak saat itu. Hingga berita ini diturunkan, korban telah absen selama tiga minggu akibat trauma yang dialaminya.
Meskipun dugaan tersebut telah beredar luas di lingkungan internal kepolisian dan masyarakat sekitar, AKP Ramses Panjaitan secara tegas membantah tuduhan tersebut. “Tidak benar, itu bohong. Itu informasi tidak benar,” ujarnya singkat saat dikonfirmasi wartawan.
Namun, muncul pula informasi yang menyebutkan bahwa pihak Kasat Narkoba telah mengutus seorang perwira lain, yakni Ipda J. Simanjuntak, untuk menemui keluarga korban. Diduga, upaya ini bertujuan agar pihak keluarga tidak melanjutkan kasus ini ke ranah hukum pidana. Hingga kini, belum ada konfirmasi resmi terkait kebenaran informasi tersebut.
Kapolres Batubara, AKBP Doli Nainggolan, yang diharapkan dapat memberikan pernyataan resmi atas laporan tersebut, belum merespons permintaan konfirmasi dari sejumlah wartawan.
Etika dan Implikasi Hukum
Jika terbukti benar, tindakan yang dilakukan oleh perwira polisi tersebut bukan hanya mencoreng institusi Polri, tetapi juga melanggar sejumlah aturan hukum dan kode etik profesi. Secara hukum, tindakan pelecehan seksual dapat dijerat dengan pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan/atau Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang telah diberlakukan.
Dari sisi etika profesi, Polri memiliki mekanisme internal untuk memproses pelanggaran berat yang dilakukan oleh anggotanya, termasuk melalui Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam). Sanksi bisa berupa teguran keras, penurunan pangkat, hingga pemecatan tidak dengan hormat (PTDH), tergantung pada tingkat pelanggaran yang terbukti dilakukan.
Transparansi dan Perlindungan Korban
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam tubuh kepolisian, terutama dalam menangani dugaan pelanggaran serius yang melibatkan anggotanya. Di sisi lain, perlindungan terhadap korban juga menjadi hal yang mendesak untuk diperhatikan, termasuk pendampingan psikologis, hukum, dan jaminan tidak ada intimidasi dari pihak mana pun.
Publik kini menanti langkah tegas dari Kapolres Batubara dan jajaran terkait guna mengusut tuntas dugaan ini, serta memastikan bahwa proses penanganan berjalan adil dan profesional.
( Tim Media)