( Photo Ilustrasi/Berbagai Sumber)
Di sudut-sudut warung kecil, kios pinggir jalan, hingga gerobak pedagang keliling di Batam dan Tanjungpinang, rokok ilegal merek T3 dan sederet merek lain dengan mudah ditemukan. Tanpa pita cukai resmi, tanpa izin edar, tanpa standar mutu—produk ini dijual bebas seolah hukum tak berarti.
Alasannya klasik: harga murah. T3 Bold hanya sekitar Rp13 ribu per bungkus, jauh di bawah rokok legal yang umumnya di atas Rp20 ribu. Selisih harga itu menggiurkan bagi perokok berpenghasilan rendah. Namun, di balik “hemat” itu, ada harga mahal yang harus dibayar: kerugian negara miliaran rupiah dari hilangnya penerimaan cukai, rusaknya iklim usaha legal, dan terancamnya kesehatan masyarakat.
Modus peredarannya canggih sekaligus licik. Pesanan lewat pesan singkat atau aplikasi, distribusi lewat pedagang keliling, hingga produksi dari pabrik-pabrik kecil tak berizin di Batam yang mengirim ke seluruh Kepri bahkan Sumatera. Data Bea Cukai Batam sudah cukup bicara: jutaan batang rokok ilegal disita sepanjang 2025. Dan kita tahu, angka itu hanya puncak gunung es.
Penindakan oleh Bea Cukai, aparat kepolisian, dan pemerintah daerah patut diapresiasi. Tapi jelas, langkah represif saja tak cukup. Masyarakat harus berhenti menjadi pasar bagi produk ilegal. Membeli rokok tanpa cukai berarti ikut menutup mata terhadap pelanggaran hukum, ikut merugikan negara, dan ikut membahayakan diri sendiri.
Kita menyerukan kepada pemerintah pusat untuk memperkuat pengawasan di jalur-jalur rawan, menindak tegas produsen dan distributor, serta mengkaji ulang kebijakan harga yang justru mendorong peralihan konsumen ke produk ilegal. Kepada masyarakat, mari hentikan kebiasaan membeli rokok ilegal. Hukum hanya akan benar-benar berjalan jika kita semua memilih berada di pihak yang benar.
Rokok ilegal bukan sekadar masalah cukai—ini adalah ujian bagi keberanian kita menegakkan hukum di tanah perbatasan. Jangan biarkan Kepri menjadi surga bagi pelanggar aturan. **