banner 728x250

Menyempurnakan Beranda Depan Indonesia di Perbatasan RI–RDTL Oleh: Boni Atolan, Wartawan, Tinggal di Kabupaten Malaka

banner 120x600
banner 468x60

( Photo : Boni Atolan, Wartawan ) 

Kawasan perbatasan negara tidak pernah sekadar garis penanda geografis. Ia adalah cermin identitas, etalase bagi wajah bangsa, dan titik temu antara martabat negara dengan harapan warganya. Dalam konteks ini, wilayah-wilayah perbatasan Indonesia dengan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL), khususnya Kabupaten Belu, Malaka, Timor Tengah Utara (TTU), dan Kabupaten Kupang—menduduki posisi yang strategis, sekaligus menantang.

banner 325x300

Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, pembangunan kawasan perbatasan mendapat perhatian relatif lebih baik. Pos Lintas Batas Negara (PLBN) seperti Motaain, Motamasin, dan Napan dibangun dengan wajah baru, menampilkan arsitektur megah yang mencerminkan kehormatan bangsa. Infrastruktur dasar juga mulai menyentuh beberapa titik terpencil. Namun, sudahkah pembangunan itu menjangkau substansi?

Ketimpangan dan Ketertinggalan

Sejumlah capaian memang patut diapresiasi. Dalam laporan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), pemerintah mengalokasikan anggaran sekitar Rp 8,6 triliun untuk pembangunan kawasan perbatasan nasional melalui Gerakan Pembangunan Terpadu Perbatasan (Gerbangdutas) pada 2023. Nusa Tenggara Timur termasuk penerima prioritas.

Namun demikian, realitas di banyak titik perbatasan masih memperlihatkan ketimpangan. Di desa-desa yang hanya berjarak beberapa kilometer dari garis batas, akses jalan masih rusak berat. Pelayanan kesehatan dan pendidikan terbatas. UMKM lokal sulit berkembang karena infrastruktur pendukung dan dukungan pasar yang belum memadai.

Lebih mencemaskan lagi, proporsi anggaran untuk kawasan perbatasan RI-RDTL belum menunjukkan keadilan fiskal yang nyata. Misalnya, alokasi untuk Belu pada 2024 dilaporkan hanya Rp 2,4 miliar, jumlah yang tidak sebanding dengan urgensi dan potensi strategis kawasan tersebut.

Dari Gerbang Menjadi Kawasan Hidup

Sudah saatnya pendekatan pembangunan tidak hanya berfokus pada PLBN sebagai bangunan monumental. Kawasan sekitar PLBN perlu hidup dan berkembang secara terpadu baik dari aspek ekonomi, sosial, maupun budaya. Infrastruktur penghubung, pasar perbatasan, klinik kesehatan, dan pusat kegiatan masyarakat harus hadir dalam satu rancangan besar pembangunan berkelanjutan.

Pariwisata berbasis budaya lokal dan alam perbatasan dapat dikembangkan sebagai daya tarik lintas batas. Begitu pula sektor pertanian, peternakan, dan kelautan yang menjadi sandaran utama masyarakat di kawasan ini, perlu penguatan dari hulu ke hilir. Di titik inilah keberpihakan negara diuji: apakah mampu menghadirkan pembangunan yang memberdayakan, bukan sekadar membangun.

Keadilan dan Konsistensi

Pembangunan kawasan perbatasan menuntut keadilan anggaran dan konsistensi kebijakan lintas pemerintahan. Ia tak bisa bergantung pada proyek-proyek jangka pendek atau sekadar simbol politik anggaran. Harus ada kesinambungan, perencanaan jangka panjang, dan partisipasi masyarakat sebagai subjek pembangunan.

Apalagi, wilayah seperti Malaka dan Kupang juga berbatasan laut dengan Australia. Potensi geopolitik dan ekonomi kawasan ini tidak boleh dipandang sebelah mata. Konektivitas laut dan darat harus diperkuat, tidak hanya untuk perdagangan, tetapi juga untuk keamanan dan diplomasi kawasan.

Penutup

Pembangunan kawasan perbatasan adalah wujud nyata dari kehadiran negara. Jika wilayah ini terus terpinggirkan, maka yang dirugikan bukan hanya masyarakat setempat, tetapi juga reputasi dan otoritas negara di mata tetangga.

Indonesia tak boleh membiarkan beranda depannya kusam dan tertinggal. Kawasan perbatasan RI–RDTL harus menjadi etalase yang hidup, tempat warga merasa dilindungi, diberdayakan, dan dihargai sebagai bagian tak terpisahkan dari bangsa. (**)

 

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *