Opini
Setiap 1 Juni, elite negara berlomba-lomba mengenakan batik, berdiri di mimbar, dan menyuarakan kembali lima sila Pancasila seolah-olah ideologi ini masih hidup utuh dalam nadi bangsa. Tapi bagi kami, rakyat kecil, para Marhaen yang menggantungkan hidup dari cangkul, becak, ojek online, atau warung pinggir jalan Pancasila hari ini lebih mirip nyanyian nostalgia daripada kekuatan pembebasan yang nyata.
Padahal, dalam rahim sejarahnya, Pancasila lahir dari rahim perjuangan rakyat. Ia bukan milik istana atau lembaga negara, tapi milik kaum Rakyat! Rakyat yang hidupnya diperas oleh struktur ekonomi yang timpang, tapi tetap setia pada tanah air.
Marhaenisme Roh dari Pancasila Bung Karno merumuskan Pancasila bukan dalam ruang kosong. Ia menyaksikan langsung bagaimana Marhaen petani miskin yang punya tanah tapi tak mampu mengolahnya karena sistem kolonial menjadi simbol dari penindasan struktural. Dari sanalah lahir semangat Marhaenisme, perjuangan politik untuk membebaskan rakyat kecil dari ketertindasan ekonomi, penjajahan budaya, dan manipulasi politik.
Dalam Marhaenisme, Pancasila adalah alat perjuangan. Ia bukan ideologi yang dikeramatkan, tapi dipraksiskan di sawah, di pabrik, di ruang kelas, dan di jalanan.
Kapitalisme Menggerogoti Sila Kelima Pancasila menutup dengan sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Tapi di bawah dominasi ekonomi kapitalistik, keadilan sosial tak lebih dari slogan. Kaum Marhaen yang dulu diperjuangkan kini justru menjadi korban sistem ekonomi yang dikuasai oleh konglomerat dan investor asing. Sawah-sawah digusur demi Proyek Strategis Nasional. Nelayan terusir oleh tambang nikel dan reklamasi. Buruh dihimpit UU Cipta Kerja. Sementara kekayaan alam dikeruk tanpa ampun untuk mengisi pundi-pundi segelintir elite.
Apakah ini wujud keadilan sosial?
Demokrasi Oligarkis Musyawarah dalam Cengkeraman Modal
Sila keempat bicara soal kerakyatan dan musyawarah. Tapi realitas politik hari ini menunjukan dominasi oligarki. Partai politik tak lagi jadi alat perjuangan rakyat, tapi kendaraan dagang kepentingan. Uang menentukan pencalonan, bukan integritas. Suara rakyat dibeli lewat sembako dan janji palsu. Marhaenisme menghendaki demokrasi partisipatoris yang sejati, bukan prosedural yang manipulatif.
Agama dan Kemanusiaan Diseret dalam Kepentingan Elitis
Sila pertama dan kedua mestinya menjunjung tinggi moralitas publik dan penghormatan atas martabat manusia. Tapi hari ini agama lebih sering jadi alat mobilisasi massa, bukan kekuatan etis pembebasan. Marhaen yang berbeda keyakinan justru ditindas oleh regulasi dan wacana mayoritas. Padahal Bung Karno sendiri mengajarkan bahwa Ketuhanan yang sejati adalah yang berkeadaban, bukan yang menindas.
Kembali ke Akar Menghidupkan Pancasila sebagai Revolusi Sosial
Pancasila hanya bisa hidup jika ia berpihak kepada kaum Marhaen. Perjuangan ideologis hari ini bukan lagi sekadar mempertahankan Pancasila dari ancaman ideologi asing, tapi merebut kembali Pancasila dari tangan elite yang mengkomersialisasinya. Pancasila harus ditarik dari menara gading birokrasi, dan dikembalikan ke tangan rakyat sebagai alat revolusi sosial.
Marhaenis menolak Pancasila sebagai museum. Kami menuntutnya sebagai alat perjuangan!
( * Randa Fikri Anugra, Kader GMNI Tanah Datar – Sumatera Barat)